Home / Ekonomi

Kamis, 27 Februari 2025 - 14:47 WIB

Mendongkrak Produktivitas Singkong, Pupuk Bisa Tingkatkan Kesejahteraan Petani

Singkong yang siap diolah menjadi tapioka di Cijujung, Bogor, Jawa Barat. (Ist)

Singkong yang siap diolah menjadi tapioka di Cijujung, Bogor, Jawa Barat. (Ist)

SEJAK awal Desember 2024 hingga akhir Januari 2025, berita tentang singkong di Lampung terus mencuat. Petani protes karena harga anjlok dari sekitar Rp 1200-1400 per kilogram (kg) menjadi Rp 700 per kilogram (kg). Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II Lampung mengungkap ada impor tapioka mendorong anjloknya harga singkong lokal tersebut. Masuknya tapioka asal Thailand atau Vietnam itu menyebabkan harga tapioka lokal turun dan berdampak pada harga singkong segar. Kalau harga anjlok dan petani merugi, maka singkong menjadi tidak menarik dan suatu saat diganti dengan komoditas lainnya. Para petani pun tidak aka mewarisi keluarganya untuk berkecimpung lagi dalam dunia singkong. Generasi muda pun melihat pertanian menjadi kurang menjanjikan.

Di sisi lain, pasokan bahan baku untuk industri tapioka dan olahan lainnya pun bakal berkurang atau berhenti. Padahal, singkong menjadi bahan baku aneka industri, mulai dari makanan-minuman, farmasi, tekstil dan kertas. Secara bersamaan, di beberapa wilayah Indonesia, singkong bisa menjadi pengganti karbohidrat dari beras sehingga diversifikasi pangan pun tercapai.

Sejak pertengahan 2024 lalu, DPN Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) sudah beberapa kali mendapat keluhan anjloknya harga singkong yang ditekan tapioka impor di beberapa sentra produksi. Pengrajin tapioka di Pati, Jawa Tengah, mengeluhkan beratnya usaha karena harga yang turun drastis. Sebagian besar hanya bertahan karena nyaris tidak punya alternatif pilihan yang sudah digarap secara turun-temurun. Fluktuasi harga singkong ini biasanya terjadi berkala, terkait erat dengan pasokan tapioka regional.

Sepanjang 2024, data KPPU menyebutkan empat perusahaan di Lampung mengimpor 59.050 ton tepung tapioka dari Vietnam dan Thailand dengan nilai Rp 511,4 miliar yang diduga berdampak pada penurunan harga beli singkong lokal.
“Impor tersebut dilakukan grup pelaku usaha yang terbesar di Lampung dan pelabuhannya tidak di Pelabuhan Panjang, namun turun di Tanjung Priok, Tanjung Emas dan Tanjung Perak , sedangkan yang turun di Pelabuhan Panjang pada tahun 2024 bukan oleh group pelaku usaha terbesar,” ujar Kepala Kantor KPPU Wilayah II Lampung, Wahyu Bekti Anggoro seperti ditulis laman resmi lampungprov.go.id, Jumat (17/1/2025).

Setelah melalui protes dan aksi besar-besaran dari Lampung hingga Jakarta, pemerintah pun menetapkan harga dasar pembelian singkong dan menutup sementara (larangan terbatas/lartas) impor tapioka. Kebijakan itu agar produksi lokal lebih dioptimalkan dan menaikkan harga beli dari petani. Setidaknya petani tidak lagi menderita rugi dan animo bertani kembali bergairah.

Produktivitas
Perlu diketahui secara komprehensif agar tidak memahami singkong hanya dari sisi petani atau produksi saja. Demikian juga pabrik tapioka dan industri pengguna tapioka hingga konsumen pun harus melihat ada persoalan besar dihadapi petani.
Adakah yang memberi solusi betapa susahnya petani memproduksi singkong per ha dengan ketidakjelasan varietas unggul dan pupuk yang terbatas? Benarkah tapioka di Thailand & Vietnam lebih murah karena biaya produksi rendah? Benarkah singkong di sana menjadi sangat strategis dengan berbagai kemewahan insentif dan subsidi? Kalaupun industri disalahkan, apakah ada pasokan tapioka lokal dengan harga bersaing? Jika pabrik harus bertanggung jawab, adakah sanksi dan kebijakan pemerintah selama ini yang mendorong industri besar terlibat supply-chain singkong nasional?

Berbagai pertanyaan diatas menguraikan betapa rumitnya dunia pertanian, khususnya singkong. Biaya produksi singkong di Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi, tetapi produktivitas per hektare (ha) masih rendah. Rata-rata produktivitas singkong nasional berkisar antara 20-30 ton per ha, dengan biaya antara 20-23 juta per ha. Jika dibandingkan dengan Thailand, Vietnam dan Kamboja, maka singkong Indonesia tidak ekonomis alias tidak menjanjikan. Produktivitas yang tinggi itu perlu varietas unggul, kecukupan unsur hara dan mineral dari pupuk, perawatan dan aspek-aspek lainnya.

Sejak tahun 2020 lalu, PT Pupuk Indonesia (Persero) melalui anak usahanya, PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Palembang, sudah memproduksi NPK Singkong dengan beberapa varian. Aplikasi pupuk khusus singkong tersebut untuk meningtakan produksi dan produktivitas. Tahun 2023 lalu, seperti dilaporkan PT Pusri, produktivitas tanaman singkong meningkat melalui aplikasi pupuk non-subsidi NPK Singkong 17-6-25 di Kecamatan Banjar Margo, Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung. Sebelumnya produktivitas tanaman singkong petani setempat berkisar 20-30 ton per ha. Melalui uji coba ini, produktivitas berhasil meningkat menjadi 50-70 ton per ha.

Selain pemupukan, peningkatan produktivitas singkong di Kabupaten Tulangbawang juga berkat pendampingan program Agrosolution. Program ini merupakan ekosistem yang memberikan bimbingan dan pendampingan teknis kepada petani dengan menggunakan produk-produk nonsubsidi. Dalam pelaksanaannya, program Agrosolution melibatkan banyak pemangku kepentingan seperti produsen pupuk, offtaker hasil panen, akses permodalan, hingga jaminan asuransi.

Dalam perkembangannya, program Agrosolution pun bertransformasi menjadi Program Makmur sebagai singkatan dari Mari Kita Majukan Usaha Rakyat. Program ini merupakan inisiatif PT Pupuk Indonesia (Persero) dalam memberikan pendampingan kepada seluruh petani di tanah air untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani, serta berkontribusi pada program swasembada pangan nasional.

“Jadi, program Makmur ini untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan cara memberikan pendampingan, mulai dari cara menggunakan pupuk, hingga memberikan petani akses kepada offtaker yang siap membeli hasil panen dari petani,” ujar Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) Pupuk Indonesia Tina T Kemala Intan dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu (22/2/2025) lalu.

Berita Lainnya  Menko Pangan Luncurkan Ayo Bisnis Pangan Cetak Wirausaha Baru
Ilustrasi program Makmur yang diinisiasi PT Pupuk Indonesia (Ist)

Gairah
Peningkatan produktivitas singkong akan meningkatkan pendapatan petani. Sekalipun ada biaya tambahan pupuk, tetapi hasilnya juga cukup tinggi. Simulasi yang sudah dilakukan telah membuktikan peningkatan pendapatan tersebut. Selain secara makro akan meningkatkan produksi singkong Lampung dan nasional, peningkatan kesejahteraan pun mendorong animo petani untuk kembali menaruh harapan pada singkong.

Supriyono, salah satu pembina petani di Kecamatan Banjar Agung, Tulang Bawang, Lampung, mengakui bahwa produktivitas yang tinggi mendorong minat petani untuk budidaya singkong. Apalagi pemanfaatan singkong sudah terintegrasi dengan ternak maupun olahan lainnya. “Artinya kesejahteraan petani meningkat maka produksi singkong pun semakin baik. Lampung ini punya potensi besar dari hulu-hilir singkong,” ujarnya dalam sebuah webinar yang digelar MSI belum lama ini.

Wakil Ketua MSI Helmi Hasanudin menyatakan Provinsi Lampung merupakan lahan yang terbaik buat singkong. Jika kolaborasi terjalin dengan baik, ekonomi berbasis singkong juga akan bergerak. Dari hulu-hilir singkong bisa menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, termasuk generasi muda.
“Bisnis singkong ini adalah bisnis aci atau pati bagi pabrik singkong. Potongan yang dilakukan sesuai mutu singkong, hal ini dikarenakan ketidaktahuan petani akan kualitas hasil singkong. Jika produktivitas tinggi kemudian ditambah dengan pendampingan agar usia panen yang tepat maka harga jual singkong sangat bagus,” katanya.

Di tengah kisruh singkong yang mulai mereda, kabar menyejukkan bahwa Kementerian Pertanian resmi memasukan singkong atau ubi kayu ke dalam katagori penerima pupuk bersubsidi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 4/2025 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Peeranian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. Kebijakan ini berarti singkong kembali mendapatkan pupuk subsidi yang sudah dilarang sejak tahun 2022 lalu. Singkatnya, asupan untuk meningkatkan produktivitas singkong pun semakin bertambah dan kesejahteraan petani pun semakin naik drastis. Paling tidak, gairah untuk singkong dan pertanian pada umumnya kembali menguat sehingga upaya mendorong ketersediaan pangan nasional tercapai. Di sisi lain, gairah generasi muda pun bakal meningkat karena pertanian memberikan kepastian masa depan yang lebih baik. Industri pengolahan singkong, khususnya tapioka, juga bisa menyerap semakin banyak singkong dengan harga yang wajar agar bisa bersaing dengan tapioka impor. [Heriyanto SS/Bisnis Mondial]

Share :

Baca Juga

Ekonomi

Prabowo Rapat Mendadak di Halim Bahas Pangan Hingga Kampung Nelayan

Ekonomi

Festival Ayam, Telur, dan Susu 2025 Menopang MBG untuk Penyediaan Protein Hewani

Ekonomi

Bersama BPDP, MAKSI Tunjukkan Langsung Pengendalian Ganoderma ke Petani Sawit

Ekonomi

Profil Plt Dirut Bulog Pengganti Letjen Novi Helmy Prasetya

Ekonomi

HaqFest 2025, Alumni IPB University Dukung Percepatan Program Makan Bergizi Gratis

Ekonomi

Dosen IPB Pulang Kampung, Bawa Ilmu Sengon hingga Sertifikasi Benih ke Hutan Sumedang

Ekonomi

Menko Pangan Luncurkan Ayo Bisnis Pangan Cetak Wirausaha Baru

Ekonomi

BI dan OJK Dorong Pembiayaan Kakao, Mars Symbioscience Tawarkan Solusi