JAKARTA– Indonesia dinilai sulit mengambil keuntungan maksimal saat harga gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dunia tengah meroket, imbas terhentinya penyaluran gas Rusia ke Eropa via Ukraina.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan Indonesia terlambat membenahi tata kelola hulu minyak dan gas bumi (migas), yang seharusnya sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu, tecermin dari tata kelola investasi Blok Masela.
“Kalau waktu itu enggak ada isu onshore-offshore [dalam pengelolaan gas di Blok Masela], kita sudah bisa produksi sekarang, sudah menikmati untung. Mungkin kita juga sudah ikut bantu suplai gas ke Eropa. Jadi itu missed semua akhirnya,” ujarnya seperti ditulis Bloomberg, awal pekan ini.
Menurut Moshe, proyek Lapangan Abadi Masela—yang diestimasikan memiliki puncak produksi sebesar 9,5 juta ton LNG per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel kondensat per hari (BCPD) — mengalami keterlambatan produksi akibat kepentingan politis. Proyek tersebut kini ditargetkan onshore pada 2029.
Sekadar catatan, rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Blok Masela sebenarnya sudah ditandatangani hampir 10-15 tahun lalu. Namun, operasionalnya justru terhambat karena adanya usulan peralihan perencanaan untuk Blok Masela dari proyek offshore menjadi onshore. Operasional padahal bisa langsung dilakukan setelah penandatanganan PoD, tetapi justru terhambat karena adanya intervensi dari pemerintah.
Intervensi dalam peralihan perencanaan dari offshore menjadi onshore, lanjut Moshe, membuat Shell Upstream Overseas Ltd (SUOS) hengkang dari Blok Masela. Inpex Masela Limited pun enggan mengakuisisi porsi Shell.
Selanjutnya, pemerintah dihadapkan dengan masalah mencari pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) pengganti Shell, yang pada akhirnya resmi diambil alih oleh Pertamina dan Petronas pada 2023.
Memasuki 2025, ketika harga LNG tengah tinggi akibat konflik geopolitik di wilayah Eropa, Indonesia terlambat mengambil peluang lantaran proyek gas alam cair terbesar di Tanah Air yang berlokasi di Tanimbar itu terlambat untuk memulai produksi.
Blok Masela, sebut Moshe, baru bisa berproduksi sekitar 3-5 tahun ke depan, sedangkan momentum penguatan harga LNG akibat perang Rusia-Ukraina belum tentu bertahan sampai selama itu. Bagaimanapun, Moshe menilai Indonesia masih bisa saja mengambil peluang dari proyek lain seperti Tangguh yang dikelola BP. Terlebih, Tangguh Train 3 sudah mulai beroperasi. [BM-02]